Sebelum
hari ini, aku selalu bertanya-tanya tentang makna dari sebuah perpisahan.
Bagaimana
bisa perpisahan menghadirkan tangis dan kesedihan untuk beberapa orang, namun tawa
dan kebahagiaan justru hadir untuk yang lainnya? Apa yang membuat sebuah
perpisahan berbeda di mata orang lain?
Bukankah
semua perpisahan itu sama?
Bukankah
perpisahan selalu mengiringi pertemuan? Bukankah segala yang sudah dibangun
oleh pertemuan dapat hancur dalam hitungan detik oleh sebuah perpisahan?
*
Hari
ini, perpisahan datang padaku.
Semua
orang tahu, kau pun tahu, perpisahan tidak datang tanpa tujuan. Pasti ada
sesuatu yang membuatnya datang padaku. Nyatanya, ia tidak datang untuk aku. Ia
datang untuk menemuimu. Untuk membawamu pergi meninggalkan aku, meninggalkan
kita.
Detik
dimana aku bertatapan muka dengan perpisahan, adalah detik-detik janggal. Seperti
sesuatu yang begitu kau inginkan sekaligus ingin kau hindari. Perasaan ini,
atmosfir ini, debar jantung ini – sama seperti dulu. Sama seperti pertemuan
pertamaku denganmu. Momen yang paling aku takuti sepanjang hidupku.
Lalu
aku tersentak. Seperti dipaksa bangun dari tidur yang sangat lelap. Ini bukan
kabar yang tiba-tiba hadir. Aku teringat, ada sesuatu yang berubah sebelum ini.
Ada tanda, ada isyarat, ada firasat, yang tak pernah kusadari sebelumnya. Percakapan
pagi kita yang mulai terasa hambar. Tak ada sapaan hangat akhir-akhir ini. Jawabanmu
jadi singkat-singkat. Kau jadi mudah tersengat.
Mengapa
baru sekarang aku menyadarinya?
Kau
sudah lama pergi, jauh sebelum kau mengatakannya padaku. Kita sudah berpisah, jauh
sebelum perpisahan itu mendatangi aku hari ini.
Aku
teringat pada percakapan-percakapan lama kita. Tentang hal-hal yang kau benci
dan yang kau sukai. Tentang yang kau benci: perpisahan. Tentang yang kau sukai:
pertemuan. Dan aku, begitu katamu. Detik itu juga aku segera yakin bahwa kaulah
jodoh yang dikirimkan-Nya untukku.
Kita
adalah pertemuan itu. Kau menginginkan
diriku sekaligus dirimu sendiri, sama besarnya dengan keinginanmu untuk sebuah
pertemuan tanpa perpisahaan. Setidaknya, hingga beberapa saat yang lalu. Sebelum
perpisahan datang dan memaksamu cepat-cepat beranjak dariku.
Aku
tidak menyangka bahwa memori memiliki tanggal kadaluwarsa.
“Cepat
sekali kau melupakan kata-katamu sendiri.”
Oh,
sungguh, aku tak mampu berlama-lama diam dan bertingkah bahwa semua sedang
baik-baik saja. Aku bisa bertingkah bahwa aku menerima ini semua. Aku tidak
bisa, tidak akan pernah.
Lalu
katamu, dengan intonasimu yang paling tinggi yang pernah aku dengar, “Hanya
orang bodoh yang percaya bahwa sebuah pertemuan tanpa perpisahan itu benar-benar
ada.”
Hatiku
patah.
Iya,
aku seorang yang bodoh dan dungu, yang begitu saja percaya dengan kata-katamu.
Kini
hatiku hancur. Terpecah menjadi fragmen-fragmen kecil yang terlampau sulit
untuk disatukan lagi. Kini aku tidak sedang menyesalkan perpisahan, aku sedang
menyesalkan keputusanku untuk memberikan hatiku utuh padamu. Seharusnya aku
cukup memberikan separuhnya, lebih baik lagi jika aku tak memberikannya sama
sekali.
Kita
saling diam. Cukup lama hingga akhirnya kau berbalik, tak mengacuhkan aku dan
remahan hatiku. Kau buru-buru berkemas,
seolah waktu yang paling tepat untuk berpisah adalah saat ini juga, secepat selagi
kau bisa. Sementara aku hanya diam dan menatapmu dari sudut mataku. Aku tak
sanggup menyaksikan semuanya, aku tak sanggup melihatmu berkemas dan pergi. Aku
tak bisa menerima kenyataan ini, kaulah yang pergi. Kau akan meninggalkan aku,
meninggalkan kita. Perpisahan tidak sedang kemana-mana, ia hadir disini,
diantara kita.
Kau
berbalik. Kita kembali beradu-pandang.
“Selamat
tinggal,” katamu.
Aku
terdiam di depanmu. Menatapmu dalam-dalam, berharap agar kau berubah pikiran
dan memutuskan untuk tetap tinggal. Sungguh, aku tidak ingin kau pergi.
Kau
mendekat ke arahku sembari membuka kedua lenganmu. Bersiap untuk
memelukku. Biasanya aku akan menyambutmu
penuh suka cita. Tapi tidak untuk sekarang. Rasanya begitu berat melakukan itu
semua. Aku tak ingin memelukmu karena aku tahu itu adalah pelukan terakhir,
pelukan… hmphff, aku benci mengatakannya: pelukan perpisahan.
Aku
menggeleng dan mundur satu langkah, isyarat bahwa aku tak ingin memelukmu.
“Ijinkan
aku memelukmu.” Katamu lagi.
Kali
ini aku tidak akan melakukannya. Kau tahu, jika aku membiarkanmu memelukku, kau
akan cepat-cepat melepasku lalu pergi bersama perpisahan.
Aku
mundur satu langkah lagi, menghindarimu.
“Kenapa?” Kataku.
Mataku
terasa perih, hidungku sakit, dadaku sesak. Jika berbicara sekali lagi, aku
yakin, air mataku akan tumpah dihadapanmu. Tidak, aku tidak ingin menangis. Air
mata adalah simbol pemahaman. Sebuah tanda bahwa aku sedang menyadari adanya perpisahan. Sampai penghabisan,
aku tidak akan mengalah pada perpisahan. Aku tidak akan menyerahkanmu,
menyerahkan kita, menyerahkan semua kenangan, pada perpisahan begitu saja. Tidak
akan pernah.
“Jangan
bodoh. Aku harus pergi.” Rahangmu mengeras. Aku tahu, kau mulai kesal padaku.
“Aku
ikut.”
“Untuk
apa?”
“Aku
harus ikut.” Aku terus merengek seperti anak kecil yang tidak ingin
ditinggalkan. Tindakan bodoh yang tidak akan pernah aku lakukan diluar kondisi
ini.
“Tidak
bisa.”
“Kenapa?”
“Jangan
bodoh. Kita memang harus berpisah. Kita tidak bisa bersama.”
Kata-kata
itu akhirnya keluar dari mulutmu. Dulu aku selalu menebak-nebak, diantara kita,
siapakah yang akan menyerah pada takdir. Pada akhirnya, kaulah menyerah. Kau
mengatakan takdir kita dan pada saat bersamaan, kau sudah menghapus kita.
Tak
bisakah kau memilih untuk mempertahankan semuanya lebih lama lagi?
“Aku
tidak bisa menyerahkan kita.”
“Kenapa?”
Kau kini balik bertanya.
“Kau
sendiri yang berjanji.”
“Untuk
tidak meninggalkanmu?” Katamu.
“Untuk
membenci perpisahan.”
Tawamu
pecah segera setelah aku mengatakan itu. Aku tahu, kau tidak sedang
menertawakanku, kau sedang meremehkanku. Tahap kedua yang terjadi saat kau
memutuskan untuk berpisah dengan seseorang: tidak ada lagi keinginan untuk
menghargai orang itu. Tahap pertamanya adalah kalimat ‘selamat tinggal’ yang
kau ucap tadi.
“Aku
sedang tidak bergurau. Aku harus pergi.”
“Aku
juga sedang tidak bergurau. Kau harus tinggal.” Aku bersikeras.
“Sampai
kapan? Sampai kapan aku harus tinggal disini, bersamamu?” Tak pernah aku
melihatmu semarah ini.
“Maka
ajak aku pergi bersamamu.” Pintaku. Entah sudah kali keberapa aku merengek
padamu tentang ini. Aku tak lagi peduli dengan harga diri.
“Tidak
bisa.”
“Kenapa?”
“Kenapa
kamu selalu bertanya ‘kenapa’?” Kau membalik pertanyaanku.
“Karena
aku butuh penjelasan. Aku sedang bertanya atas sebab, untuk sebuah akibat yang
sebentar lagi akan terjadi padaku, padamu, dan pada kita.”
“Jangan
bodoh.”
“Kenapa
kamu selalu menganggap pernyataanku bodoh?”
Nada
suaraku bergetar. Susah payah menahan tangis. Sebelum semua jelas, aku tak
boleh menangis. Menangis adalah tanda kekalahan sekaligus penerimaan atas
sebuah tanya yang belum terjawab. Menangis bukanlah caraku untuk menahanmu agar
tidak pergi. Aku belum menyerah, aku tahu, kau akan kembali.
“Aku
harus pergi, kau tahu itu. Kau tahu ini akan terjadi.” Cara bicaramu sedikit
melunak.
“Kenapa?”
Tanyaku lagi.
Tiba-tiba
saja aku merasa sesak saat dua buah lengan mendekapku begitu erat. Aku
terkunci, kau memelukku – tidak hanya raga, tetapi juga jiwaku. Mendadak aku
merasa lemah. Aku kehabisan daya. Benteng pertahananku runtuh segera setelah kau
melepas pelukanmu.
Aku
kalah.
Aku
menangis di hadapanmu.
“Jangan
menangis.” Katamu.
Aku
menggeleng. Aku tak bisa menghentikan air mataku.
“Bukankah
kau dulu pernah bilang, menangis hanya untuk yang lemah?” Kau mengulang
kata-kata yang aku ucapkan setiap kali kita berselisih paham, sebuah hal yang
sangat jarang terjadi selama ini.
“Kau
jugalah yang mengatakan bahwa kau tidak menginginkan perpisahan. Tapi sekarang…
kenapa?”
“Untuk
apa kau bertanya padaku? Kau pembuat kisahnya, mestinya kau yang tahu itu.”
Katamu. “Berhentilah menangis.”
Kita
kembali berjarak. Kau mengambil barang-barangmu, bersiap untuk pergi.
“Aku
hanya ingin mendengarnya darimu. Mengapa pada akhirnya kau memutuskan untuk
pergi? Bukankah kau sendiri yang berjanji?” Bisikku.
“Karena
kaulah pembuat ceritanya. Aku adalah masa lalumu. Kau adalah masa depanku. Semua
orang tahu bahwa kita tidak bisa bertemu.”
“Aku
tidak mengerti.”
“Aku
juga tidak.”
Lagi-lagi
pandangan kita beradu. Aku berusaha mencari dirimu yang dulu, tapi semuanya berbeda.
Sebuah kenyataan yang terasa menyesakkan: akan sia-sia memaksamu untuk tetap
tinggal.
Aku
tahu, ini bukan tentang kalah atau menang. Bukan tentang mengalah pada
perpisahan. Ini tentang penerimaan. Setelah ini aku harus belajar untuk
menerima bahwa tidak akan ada lagi kau, tidak ada lagi kita.
Tanpa
bicara, kau ambil kembali barang-barangmu dan berbalik memunggungiku. Pelan-pelan
berjalan menjauhiku.
Semakin
lama, semakin jauh.
Langkahmu
serasa pisau yang mencacah perasaanku. Menyakitkan. Anehnya, aku tak lagi ingin
menahanmu. Aku tak lagi memiliki keinginan untuk mengejar dan memintamu kembali.
Sakitku, kecewaku, pergi bersamaan dengan hilangnya bayanganmu dari pandanganku.
Kita
berpisah.
Sebuah
kenyataan yang mau tidak mau, suka tidak suka, harus aku terima. Meski
terlampau sulit untuk mempercayai ini.
*
Dulu
kau pernah bilang, bahwa kita selalu bisa memilih takdir.
Kau
mengatakan bahwa kau memilih untuk tidak mengijinkan perpisahan berada diantara
kita. Kau mengatakan bahwa kau memilih sebuah pertemuan tanpa perpisahan. Kau
sendiri yang mengatakan bahwa kau benci perpisahan. Kau mencintai pertemuan,
dan kau jatuh cinta pada pertemuan kita. Pun detik itu juga, kau berjanji tak
akan pernah meninggalkanku.
Aku
tak pernah bertanya karena aku selalu percaya padamu, pada kita, pada takdir
kita yang lain. Itu dulu, sebelum kau
benar-benar pergi dan tak lagi dapat kugapai.
Rasanya
sulit bagiku untuk percaya.
Bagaimana
bisa seseorang pergi bersama dengan apa yang ia benci? Bagaimana bisa ia
meninggalkan apa yang ia cintai hanya untuk apa yang ia benci? Lalu untuk apa
kita bertemu bila pada akhirnya kita berpisah?
*
Mungkin
perpisahan ini terjadi karena salah kita.
Sejak
awal, kita telah sama-sama tahu:
“Kita
berdua adalah takdir yang tidak pernah dituliskan untuk bersama.”
Kita
melupakan hakikat keberadaan kita sebagai dua hal yang tidak akan pernah bisa
menyatu. Aku adalah masa depanmu dan kau adalah masa laluku. Kita berdua
sama-sama tahu bahwa seharusnya kita
tidak dapat bertemu.
Bermula
dari ketidaksengajaan, dalam
persimpangan jalan ini, kita bercakap sambil lalu hingga lupa bahwa kita harus meneruskan
perjalanan masing-masing. Arah kita berbeda. Kita melupakan itu. Kita melupakan
takdir.
Pertemuan
kita adalah sebuah kesalahan yang kita ciptakan sendiri. Kita terlalu pongah
hingga meremehkan takdir. Kita mempermainkannya seolah ia adalah benda mati
yang tak tahu apa-apa. Pada akhirnya, kita jugalah yang merasakan akibatnya.
Dan
pada suatu masa, dalam dimensi ruang dan waktu yang berbeda dari sekarang, aku
berharap akan ada kita –tanpa melalui pertemuan. Bagaimana caranya, aku tak
tahu. Aku hanya tahu bahwa bersamaan dengan pertemuan, perpisahan akan menjadi
pemberhentian terakhirnya. Aku tidak menginginkan itu.
Aku
menginginkan kita.
***
Jogja, 29 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ceritakan ceritamu, disini!