01/01/15

Persimpangan Waktu



Sebelum hari ini, aku selalu bertanya-tanya tentang makna dari sebuah perpisahan.
Bagaimana bisa perpisahan menghadirkan tangis dan kesedihan untuk beberapa orang, namun tawa dan kebahagiaan justru hadir untuk yang lainnya? Apa yang membuat sebuah perpisahan berbeda di mata orang lain?
Bukankah semua perpisahan itu sama?
Bukankah perpisahan selalu mengiringi pertemuan? Bukankah segala yang sudah dibangun oleh pertemuan dapat hancur dalam hitungan detik oleh sebuah perpisahan?
*

Hari ini, perpisahan datang padaku.
Semua orang tahu, kau pun tahu, perpisahan tidak datang tanpa tujuan. Pasti ada sesuatu yang membuatnya datang padaku. Nyatanya, ia tidak datang untuk aku. Ia datang untuk menemuimu. Untuk membawamu pergi meninggalkan aku, meninggalkan kita.
Detik dimana aku bertatapan muka dengan perpisahan, adalah detik-detik janggal. Seperti sesuatu yang begitu kau inginkan sekaligus ingin kau hindari. Perasaan ini, atmosfir ini, debar jantung ini – sama seperti dulu. Sama seperti pertemuan pertamaku denganmu. Momen yang paling aku takuti sepanjang hidupku.
Lalu aku tersentak. Seperti dipaksa bangun dari tidur yang sangat lelap. Ini bukan kabar yang tiba-tiba hadir. Aku teringat, ada sesuatu yang berubah sebelum ini. Ada tanda, ada isyarat, ada firasat, yang tak pernah kusadari sebelumnya. Percakapan pagi kita yang mulai terasa hambar. Tak ada sapaan hangat akhir-akhir ini. Jawabanmu jadi singkat-singkat. Kau jadi mudah tersengat.
Mengapa baru sekarang aku menyadarinya?
Kau sudah lama pergi, jauh sebelum kau mengatakannya padaku. Kita sudah berpisah, jauh sebelum perpisahan itu mendatangi aku hari ini.
Aku teringat pada percakapan-percakapan lama kita. Tentang hal-hal yang kau benci dan yang kau sukai. Tentang yang kau benci: perpisahan. Tentang yang kau sukai: pertemuan. Dan aku, begitu katamu. Detik itu juga aku segera yakin bahwa kaulah jodoh yang dikirimkan-Nya untukku.
Kita adalah pertemuan itu.  Kau menginginkan diriku sekaligus dirimu sendiri, sama besarnya dengan keinginanmu untuk sebuah pertemuan tanpa perpisahaan. Setidaknya, hingga beberapa saat yang lalu. Sebelum perpisahan datang dan memaksamu cepat-cepat beranjak dariku.
Aku tidak menyangka bahwa memori memiliki tanggal kadaluwarsa.

“Cepat sekali kau melupakan kata-katamu sendiri.”

Oh, sungguh, aku tak mampu berlama-lama diam dan bertingkah bahwa semua sedang baik-baik saja. Aku bisa bertingkah bahwa aku menerima ini semua. Aku tidak bisa, tidak akan pernah.  

Lalu katamu, dengan intonasimu yang paling tinggi yang pernah aku dengar, “Hanya orang bodoh yang percaya bahwa sebuah pertemuan tanpa perpisahan itu benar-benar ada.”

Hatiku patah.
Iya, aku seorang yang bodoh dan dungu, yang begitu saja percaya dengan kata-katamu.
Kini hatiku hancur. Terpecah menjadi fragmen-fragmen kecil yang terlampau sulit untuk disatukan lagi. Kini aku tidak sedang menyesalkan perpisahan, aku sedang menyesalkan keputusanku untuk memberikan hatiku utuh padamu. Seharusnya aku cukup memberikan separuhnya, lebih baik lagi jika aku tak memberikannya sama sekali.
Kita saling diam. Cukup lama hingga akhirnya kau berbalik, tak mengacuhkan aku dan remahan hatiku.  Kau buru-buru berkemas, seolah waktu yang paling tepat untuk berpisah adalah saat ini juga, secepat selagi kau bisa. Sementara aku hanya diam dan menatapmu dari sudut mataku. Aku tak sanggup menyaksikan semuanya, aku tak sanggup melihatmu berkemas dan pergi. Aku tak bisa menerima kenyataan ini, kaulah yang pergi. Kau akan meninggalkan aku, meninggalkan kita. Perpisahan tidak sedang kemana-mana, ia hadir disini, diantara kita.
Kau berbalik. Kita kembali beradu-pandang.

“Selamat tinggal,” katamu.

Aku terdiam di depanmu. Menatapmu dalam-dalam, berharap agar kau berubah pikiran dan memutuskan untuk tetap tinggal. Sungguh, aku tidak ingin kau pergi.
Kau mendekat ke arahku sembari membuka kedua lenganmu. Bersiap untuk memelukku.  Biasanya aku akan menyambutmu penuh suka cita. Tapi tidak untuk sekarang. Rasanya begitu berat melakukan itu semua. Aku tak ingin memelukmu karena aku tahu itu adalah pelukan terakhir, pelukan… hmphff, aku benci mengatakannya: pelukan perpisahan.
Aku menggeleng dan mundur satu langkah, isyarat bahwa aku tak ingin memelukmu.

“Ijinkan aku memelukmu.” Katamu lagi.

Kali ini aku tidak akan melakukannya. Kau tahu, jika aku membiarkanmu memelukku, kau akan cepat-cepat melepasku lalu pergi bersama perpisahan.
Aku mundur satu langkah lagi, menghindarimu.

 “Kenapa?” Kataku.

Mataku terasa perih, hidungku sakit, dadaku sesak. Jika berbicara sekali lagi, aku yakin, air mataku akan tumpah dihadapanmu. Tidak, aku tidak ingin menangis. Air mata adalah simbol pemahaman. Sebuah tanda bahwa aku  sedang menyadari adanya perpisahan. Sampai penghabisan, aku tidak akan mengalah pada perpisahan. Aku tidak akan menyerahkanmu, menyerahkan kita, menyerahkan semua kenangan, pada perpisahan begitu saja. Tidak akan pernah.

“Jangan bodoh. Aku harus pergi.” Rahangmu mengeras. Aku tahu, kau mulai kesal padaku.

“Aku ikut.”

“Untuk apa?”

“Aku harus ikut.” Aku terus merengek seperti anak kecil yang tidak ingin ditinggalkan. Tindakan bodoh yang tidak akan pernah aku lakukan diluar kondisi ini.

“Tidak bisa.”

“Kenapa?”

“Jangan bodoh. Kita memang harus berpisah. Kita tidak bisa bersama.”

Kata-kata itu akhirnya keluar dari mulutmu. Dulu aku selalu menebak-nebak, diantara kita, siapakah yang akan menyerah pada takdir. Pada akhirnya, kaulah menyerah. Kau mengatakan takdir kita dan pada saat bersamaan, kau sudah menghapus kita.
Tak bisakah kau memilih untuk mempertahankan semuanya lebih lama lagi?

“Aku tidak bisa menyerahkan kita.”

“Kenapa?” Kau kini balik bertanya.

“Kau sendiri yang berjanji.”

“Untuk tidak meninggalkanmu?” Katamu.

“Untuk membenci perpisahan.”

Tawamu pecah segera setelah aku mengatakan itu. Aku tahu, kau tidak sedang menertawakanku, kau sedang meremehkanku. Tahap kedua yang terjadi saat kau memutuskan untuk berpisah dengan seseorang: tidak ada lagi keinginan untuk menghargai orang itu. Tahap pertamanya adalah kalimat ‘selamat tinggal’ yang kau ucap tadi.

“Aku sedang tidak bergurau. Aku harus pergi.”

“Aku juga sedang tidak bergurau. Kau harus tinggal.” Aku bersikeras.

“Sampai kapan? Sampai kapan aku harus tinggal disini, bersamamu?” Tak pernah aku melihatmu semarah ini.

“Maka ajak aku pergi bersamamu.” Pintaku. Entah sudah kali keberapa aku merengek padamu tentang ini. Aku tak lagi peduli dengan harga diri.

“Tidak bisa.”

“Kenapa?”

“Kenapa kamu selalu bertanya ‘kenapa’?” Kau membalik pertanyaanku.

“Karena aku butuh penjelasan. Aku sedang bertanya atas sebab, untuk sebuah akibat yang sebentar lagi akan terjadi padaku, padamu, dan pada kita.”

“Jangan bodoh.”

“Kenapa kamu selalu menganggap pernyataanku bodoh?”

Nada suaraku bergetar. Susah payah menahan tangis. Sebelum semua jelas, aku tak boleh menangis. Menangis adalah tanda kekalahan sekaligus penerimaan atas sebuah tanya yang belum terjawab. Menangis bukanlah caraku untuk menahanmu agar tidak pergi. Aku belum menyerah, aku tahu, kau akan kembali.

“Aku harus pergi, kau tahu itu. Kau tahu ini akan terjadi.” Cara bicaramu sedikit melunak.

“Kenapa?” Tanyaku lagi.

Tiba-tiba saja aku merasa sesak saat dua buah lengan mendekapku begitu erat. Aku terkunci, kau memelukku – tidak hanya raga, tetapi juga jiwaku. Mendadak aku merasa lemah. Aku kehabisan daya. Benteng pertahananku runtuh segera setelah kau melepas pelukanmu.
Aku kalah.
Aku menangis di hadapanmu.

“Jangan menangis.” Katamu.

Aku menggeleng. Aku tak bisa menghentikan air mataku.

“Bukankah kau dulu pernah bilang, menangis hanya untuk yang lemah?” Kau mengulang kata-kata yang aku ucapkan setiap kali kita berselisih paham, sebuah hal yang sangat jarang terjadi selama ini.

“Kau jugalah yang mengatakan bahwa kau tidak menginginkan perpisahan. Tapi sekarang… kenapa?”

“Untuk apa kau bertanya padaku? Kau pembuat kisahnya, mestinya kau yang tahu itu.” Katamu. “Berhentilah menangis.”

Kita kembali berjarak. Kau mengambil barang-barangmu, bersiap untuk pergi.

“Aku hanya ingin mendengarnya darimu. Mengapa pada akhirnya kau memutuskan untuk pergi? Bukankah kau sendiri yang berjanji?” Bisikku.

“Karena kaulah pembuat ceritanya. Aku adalah masa lalumu. Kau adalah masa depanku. Semua orang tahu bahwa kita tidak bisa bertemu.”

“Aku tidak mengerti.”

“Aku juga tidak.”

Lagi-lagi pandangan kita beradu. Aku berusaha mencari dirimu yang dulu, tapi semuanya berbeda. Sebuah kenyataan yang terasa menyesakkan: akan sia-sia memaksamu untuk tetap tinggal.
Aku tahu, ini bukan tentang kalah atau menang. Bukan tentang mengalah pada perpisahan. Ini tentang penerimaan. Setelah ini aku harus belajar untuk menerima bahwa tidak akan ada lagi kau, tidak ada lagi kita.
Tanpa bicara, kau ambil kembali barang-barangmu dan berbalik memunggungiku. Pelan-pelan berjalan menjauhiku.
Semakin lama, semakin jauh.
Langkahmu serasa pisau yang mencacah perasaanku. Menyakitkan. Anehnya, aku tak lagi ingin menahanmu. Aku tak lagi memiliki keinginan untuk mengejar dan memintamu kembali. Sakitku, kecewaku, pergi bersamaan dengan hilangnya bayanganmu dari pandanganku.
Kita berpisah.
Sebuah kenyataan yang mau tidak mau, suka tidak suka, harus aku terima. Meski terlampau sulit untuk mempercayai ini.
*

Dulu kau pernah bilang, bahwa kita selalu bisa memilih takdir.
Kau mengatakan bahwa kau memilih untuk tidak mengijinkan perpisahan berada diantara kita. Kau mengatakan bahwa kau memilih sebuah pertemuan tanpa perpisahan. Kau sendiri yang mengatakan bahwa kau benci perpisahan. Kau mencintai pertemuan, dan kau jatuh cinta pada pertemuan kita. Pun detik itu juga, kau berjanji tak akan pernah meninggalkanku.
Aku tak pernah bertanya karena aku selalu percaya padamu, pada kita, pada takdir kita yang lain.  Itu dulu, sebelum kau benar-benar pergi dan tak lagi dapat kugapai.
Rasanya sulit bagiku untuk percaya.
Bagaimana bisa seseorang pergi bersama dengan apa yang ia benci? Bagaimana bisa ia meninggalkan apa yang ia cintai hanya untuk apa yang ia benci? Lalu untuk apa kita bertemu bila pada akhirnya kita berpisah?
*

Mungkin perpisahan ini terjadi karena salah kita.
Sejak awal, kita telah sama-sama tahu:
“Kita berdua adalah takdir yang tidak pernah dituliskan untuk bersama.”
Kita melupakan hakikat keberadaan kita sebagai dua hal yang tidak akan pernah bisa menyatu. Aku adalah masa depanmu dan kau adalah masa laluku. Kita berdua sama-sama tahu bahwa  seharusnya kita tidak dapat bertemu.
Bermula dari ketidaksengajaan,  dalam persimpangan jalan ini, kita bercakap sambil lalu hingga lupa bahwa kita harus meneruskan perjalanan masing-masing. Arah kita berbeda. Kita melupakan itu. Kita melupakan takdir.
Pertemuan kita adalah sebuah kesalahan yang kita ciptakan sendiri. Kita terlalu pongah hingga meremehkan takdir. Kita mempermainkannya seolah ia adalah benda mati yang tak tahu apa-apa. Pada akhirnya, kita jugalah yang merasakan akibatnya.
Dan pada suatu masa, dalam dimensi ruang dan waktu yang berbeda dari sekarang, aku berharap akan ada kita –tanpa melalui pertemuan. Bagaimana caranya, aku tak tahu. Aku hanya tahu bahwa bersamaan dengan pertemuan, perpisahan akan menjadi pemberhentian terakhirnya. Aku tidak menginginkan itu.
Aku menginginkan kita.
***


Jogja, 29 Oktober 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ceritakan ceritamu, disini!