"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi."
Sepintas, kulihat ada pendar yang hilang
dari matanya. Satu dari banyak hal yang aku rindukan di masa-masa kita bebas
bicara. Tidak ada jarak, tidak ada segan.
Betapa aku benar-benar merindukan laki-laki di hadapanku ini.
Betapa aku ingin sekali memeluknya tanpa ragu seperti dulu.
Waktu benar-benar telah merubah segala.
"Aku tahu." Jawabku lirih.
Sore ini begitu sendu. Kurasakan angin nampak bergerak ragu.
Sedikit-sedikit cepat, sedikit-sedikit lambat. Yang aku tahu, ia membawa aroma
basah. Pertanda hujan akan datang sebentar lagi.
Ada pertemuan yang harus disudahi.
"Lalu?" Raga menolak bertatapan
denganku. Ia sibuk menatap lurus-lurus ke depan. Memandangi gedung-gedung yang
kokoh berdiri di sekitar kami.
“Kemana saja kamu?”
Aku sudah lama berlatih tentang ini. Sudah sangat lama, tapi tetap
saja, bibirku kelu.
Satu tahun bukan waktu yang sebentar untuk sebuah pertemuan yang
tertunda. Satu tahun,tertawan rindu dan tidak saling berkabar, kombinasi manis
untuk sebuah penyiksaan psikis bagiku. Meski tidak pernah ada kata terucap
secara resmi diantara kami, aku yakin sekali kedekatan kami lebih dari sekadar
teman. Pun hingga detik ini, aku masih merasa begitu.
“Maafkan aku Karina, kubilang tadi, semua sudah berakhir. Maaf.”
Katanya.
“Raga?” Kutarik lengan kirinya, lalu kuraih kedua jemarinya namun
buru-buru aku melepasnya ketika kudapati cincin warna perak melingkar di jari
manis kirinya.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ceritakan ceritamu, disini!