22/11/15

Tentang Sebuah Pertemuan

Liz menatap lembaran kertas itu. Berusaha membaca ulang kalimat demi kalimat yang tertulis di dalamnya. Itu adalah surat yang datang pagi tadi. Surat pertama yang ia nanti sejak setahun lalu.
Kalimat terakhir adalah hal yang paling mengganggu pikirannya:

Aku akan ke Jogja minggu depan.

Surat itu datang bersamaan dengan satu buket rangkaian bunga krisan dan mawar yang kini ada di pangkuan Liz. Tidak ada informasi yang jelas tentang pengirim surat dan bunga itu, tapi Liz sudah dapat menebaknya.
Satu-satunya nama yang terbesit dalam benaknya saat itu adalah Pras. Orang yang sama yang mengiriminya surat itu. Orang yang sama juga yang membuatnya enggan untuk membuka hati pada laki-laki lain.
***
sumber gambar
“Mama nggak suka kalau kamu sama Pras, Nak. Tahu sih, anaknya orang kaya, tapi nggak pinter nyari uang. Gaya hidupnya juga, Mama nggak suka. Mau jadi apa kamu nanti kalau sama dia?”

Kalimat itu sudah ratusan kali terputar ulang dalam ingatan Liz. Kalimat yang diucap oleh Mamanya kala Liz bercerita tentang kedekatannya dengan Pras. Kejadiannya satu tahun yang lalu. Satu momen yang bagi Liz, jauh lebih menyakitkan daripada patah hati: tidak direstui Mama.

“Hai, Liz.”

Rasanya Liz ingin menghambur ke dalam pelukan laki-laki yang kini tengah berdiri di hadapannya. Sosok laki-laki tinggi ramping yang begitu ia rindukan.  Pras terlihat lebih kurus dari terakhir kali Liz melihatnya. Pipinya lebih tirus dan kini kantong mata nampak jelas di wajah Pras.

Here I am.” 

Jawab Liz canggung. Ia sendiri tidak habis pikir kenapa sampai menuruti permintaan Pras untuk datang menemuinya.

Laki-laki itu tersenyum lebar. “Terima kasih sudah mau datang.”

Liz, yang sedari tadi sibuk mengatur degup jantungnya, tampak enggan menyambut uluran tangan Pras. Ia tidak ingin laki-laki di hadapannya tahu bahwa dirinya masih sulit mengendalikan diri untuk terlihat biasa saja saat bertemu dengan Pras. Liz tidak ingin Pras tahu bahwa semuanya masih terasa sama baginya.
***
Liz dan Pras adalah teman baik sejak SMA hingga kuliah. Berada dalam lingkungan pertemanan yang sama membuat mereka berdua menjadi sering bertemu. Kedekatan Liz dan Pras dimulai sejak Pras dengan sukarela mengantarkan Liz pulang ke rumah setelah acara tahun baru bersama teman-teman SMA mereka. Liz terlanjur jatuh hati pada Pras, meski ia tahu, dirinya hanya pelarian dari Pras setelah ia putus dengan Tiana, mantan pacarnya.

“Apa kabar, Liz?”

Pertanyaan dari Pras terdengar sebagai basa-basi.

Liz bukannya tidak paham, tapi ia juga kebingungan mencari topik pembuka untuk memecah keheningan di antara mereka. Liz pun tahu, harusnya Pras lah yang memulai percakapan, bukan dirinya.

“Baik. Kamu sepertinya sibuk sekali.” Liz yakin Pras tahu maksud di balik pernyataannya.

Pras tertawa kecil. “Ya begitulah. Mama apa kabar, Liz?”

Ada jeda yang janggal di antara mereka begitu kalimat itu terlontar. Liz yang sedari tadi sibuk memikirkan kata-kata Mamanya tampak kebingungan sesaat.

“Eh? Mama...baik, kok. Sehat.”

“Mama tahu kamu ke sini?”

Liz mengangguk, “Iya. Titip salam buat kamu katanya.”
***

Liz masih ingat tiap detail dari kejadian satu tahun yang lalu.
Liz menangis di hadapan Pras malam-malam karena tanpa sengaja mendengar percakapan Pras dengan Tania lewat telepon. Liz merasa Pras masih belum sepenuhnya melupakan Tania.  Keberatan Mama atas hubungan mereka berdua membuat Liz benar-benar berhenti berharap pada hubungan mereka. Liz dan Pras tidak pernah putus, karena pacaran bukan nama hubungan yang dulu mereka jalani.
Selang beberapa hari, Liz mendapati sepucuk surat yang diberikan Pras melalui Mama. Hanya ada satu baris kalimat dalam surat itu namun cukup untuk membuat Liz menangis berhari-hari.

Seperti pelangi yang datang setelah hujan pergi, aku pasti kembali setelah semua jauh lebih baik dari sekarang.

Pras pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal padanya.
Sebuah perpisahan yang paling menyakitkan bagi Liz. Setiap kali ia mencoba menghubungi Pras, hanya ada telepon dan pesan singkat yang tidak berbalas. Pras benar-benar menghilang seolah lenyap ditelan bumi.

 “Kemana saja kamu?” Akhirnya tanya itu keluar juga dari mulut Liz.

Berjuta kali Liz berusaha menghilangkan Pras dari pikirannya, berjuta kali itu pula ia gagal. Diam-diam, kalimat dalam surat Pras menjadi pengharapan yang terpupuk di hatinya selama ini: Janji Pras untuk kembali.
Pras menatap Liz sepintas, setelahnya, ia membuang pandangan pada orang-orang yang tengah bercakap di sekitar mereka.

“Maaf ya, Liz.”
***
Liz sudah tahu kenapa pada akhirnya ia mau menuruti permintaan Pras untuk datang menemuinya. Pun demikian halnya Pras. Ia tahu dengan pasti kenapa ia merelakan waktu dan tenaganya untuk kembali ke Jogja, menemui Liz.  Mereka berdua sama-sama tahu jawaban untuk setiap tanya yang memenuhi kepala masing-masing.
Sumber gambar
Tapi Liz tidak pernah tahu apa yang sebenarnya Pras inginkan. Marah dan kecewa yang selama ini dirasakan Liz nampaknya telah menguar bersamaan dengan detik-detik yang berlalu pada pertemuan kali ini. Hati kecil Liz berharap bahwa kehadiran Pras akan membawa sebuah titik terang bagi gelap yang masih menyelimuti hubungan mereka.

“Aku tidak memintamu untuk cepat-cepat memaafkan aku, Liz. Aku keterlaluan, aku tahu itu.”

“Satu tahun itu tidak sebentar, Pras.”

“Marah saja, Liz. Marahi aku kalau itu bisa bikin kamu nggak benci lagi sama aku.”

Liz tersentak mendengar kalimat Pras barusan. Bukan karena cara bicara Pras, tapi lebih kepada heran atas perasaannya sendiri. Tidak sedikit pun Liz membenci Pras. Bahkan setelah satu tahun Pras hilang tanpa kabar, hati Liz tetap untuknya.

“Aku pulang ke Bogor, begitu dapat kabar papa masuk ICU, Liz. Aku pengen banget bilang dulu ke kamu, tapi aku tahu, kamu perlu waktu buat sendiri. Begitu juga aku.” Pras meneruskan ceritanya.  

“Aku perlu sendiri bukan karena aku masih punya perasaan ke Tania. Kamu salah besar tentang itu. Aku cuma kepikiran kata-kata dari Mamamu. Aku sadar aku harus berubah, apalagi setelah papa meninggal.”

“Pras, aku...”

Liz kebingungan menanggapi pernyataan Pras. Ia benar-benar baru tahu kabar mengenai papa Pras yang meninggal saat ini juga. Liz mendadak merasa bersalah karena tidak ada disaat Pras butuh kehadirannya.
Pras nampak tak acuh dengan jawaban yang diberikan Liz.

“Kami sekeluarga beruntung Liz karena papa menjadi nasabah di salah satu perusahaan asurasi. Usaha keluarga jadi selamat berkat uang klaim asuransi Papa. Sejak saat itu pula aku semakin sadar, Liz, bahwa perencanaan keuangan sekecil apapun itu, penting banget.”

Pras menatap Liz sungguh-sungguh. “Liz, aku sedih sebenernya begitu tahu kamu jadi sering nangis setelah aku ngilang. Tapi....”

“Kamu tahu darimana, Pras?” Liz memotong kalimat Pras cepat. Seingatnya, sedari tadi ia tidak membahas apapun tentang dirinya dan kondisinya setelah Pras menghilang.

“Eh, itu...” Pras salah tingkah. “Aku... eh, ya... sebulan setelah aku balik ke Bogor, aku nelpon mama kamu. Aku khawatir sama kamu.”

“Mama? Jadi selama ini kamu....”

“Aku nggak siap buat ngehubungin kamu lagi karena aku tahu kamu nggak akan mendengarkan penjelasan dari aku. Seperti yang aku tulis di surat, aku pasti bakal balik. Iya, saat aku sudah bisa ngasih bukti nyata ke kamu dan mamamu.”

Pras buru-buru menambahkan, “Kamu nggak sadar, ya? Kamu baru pindah rumah tiga bulan lalu, tapi surat dan buket bunga dari aku bisa sampai dengan selamat di tanganmu?”

Pras menyentuh kepala Liz pelan sambil tertawa. “Nggak berubah ya, kamu. Nggak peka.”

Hati Liz berdesir. “Dan kamu ngapain ke Jogja?”

Wajah Pras berubah tegang. Ia tampak berdehem beberapa kali sambil memainkan jam di pergelangan kirinya.

“Semua hal yang aku lakukan selama setahun ini selain buat keluarga, ya buat kamu, Liz. Aku berubah jadi seperti yang sekarang ini karena aku pengen kamu yakin sama aku. Juga buat meyakinkan Mama kamu kalau aku bisa jadi laki-laki yang baik dan bertanggung jawab untuk jadi suami anaknya kelak.”

“Pras, kamu nggak perlu....”

Belum sempat Liz menyelesaikan kalimat, sebuah kotak kecil keemasan disodorkan Pras padanya.

“Tidak ada yang terlalu cepat ataupun terlambat untuk sebuah pertanyaan yang selama ini ingin sekali aku tanyakan ke kamu, Liz.”

Pras membuka kotak itu. Tampak sebuah cincin perak dengan ornamen daun, di dalam kotak itu.
Will you be my forever life partner, Liz?”

***


“Aku tidak pernah keberatan menunggu siapa pun, berapa lama pun selama aku mencintainya.” – Seno Gumira Ajidarma.


**************************************************************


 Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen
 “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?”
#KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ceritakan ceritamu, disini!