Liz menatap lembaran
kertas itu. Berusaha membaca ulang kalimat demi kalimat yang tertulis di
dalamnya. Itu adalah surat yang datang pagi tadi. Surat pertama yang ia nanti
sejak setahun lalu.
Kalimat terakhir
adalah hal yang paling mengganggu pikirannya:
Aku akan ke Jogja minggu depan.
Surat itu datang
bersamaan dengan satu buket rangkaian bunga krisan dan mawar yang kini ada di
pangkuan Liz. Tidak ada informasi yang jelas tentang pengirim surat dan bunga
itu, tapi Liz sudah dapat menebaknya.
Satu-satunya nama
yang terbesit dalam benaknya saat itu adalah Pras. Orang yang sama yang
mengiriminya surat itu. Orang yang sama juga yang membuatnya enggan untuk
membuka hati pada laki-laki lain.
***
sumber gambar |
Kalimat itu sudah
ratusan kali terputar ulang dalam ingatan Liz. Kalimat yang diucap oleh Mamanya
kala Liz bercerita tentang kedekatannya dengan Pras. Kejadiannya satu tahun
yang lalu. Satu momen yang bagi Liz, jauh lebih menyakitkan daripada patah
hati: tidak direstui Mama.
“Hai, Liz.”
Rasanya Liz ingin
menghambur ke dalam pelukan laki-laki yang kini tengah berdiri di hadapannya. Sosok
laki-laki tinggi ramping yang begitu ia rindukan. Pras terlihat lebih kurus dari terakhir kali
Liz melihatnya. Pipinya lebih tirus dan kini kantong mata nampak jelas di wajah
Pras.
“Here I am.”
Jawab Liz canggung. Ia sendiri tidak habis pikir kenapa
sampai menuruti permintaan Pras untuk datang menemuinya.
Laki-laki itu
tersenyum lebar. “Terima kasih sudah mau datang.”
Liz, yang sedari tadi
sibuk mengatur degup jantungnya, tampak enggan menyambut uluran tangan Pras. Ia
tidak ingin laki-laki di hadapannya tahu bahwa dirinya masih sulit
mengendalikan diri untuk terlihat biasa saja saat bertemu dengan Pras. Liz
tidak ingin Pras tahu bahwa semuanya masih terasa sama baginya.
***
Liz dan Pras adalah
teman baik sejak SMA hingga kuliah. Berada dalam lingkungan pertemanan yang
sama membuat mereka berdua menjadi sering bertemu. Kedekatan Liz dan Pras
dimulai sejak Pras dengan sukarela mengantarkan Liz pulang ke rumah setelah
acara tahun baru bersama teman-teman SMA mereka. Liz terlanjur jatuh hati pada
Pras, meski ia tahu, dirinya hanya pelarian dari Pras setelah ia putus dengan
Tiana, mantan pacarnya.
“Apa kabar, Liz?”
Pertanyaan dari Pras
terdengar sebagai basa-basi.
Liz bukannya tidak
paham, tapi ia juga kebingungan mencari topik pembuka untuk memecah keheningan
di antara mereka. Liz pun tahu, harusnya Pras lah yang memulai percakapan,
bukan dirinya.
“Baik. Kamu sepertinya
sibuk sekali.” Liz yakin Pras tahu maksud di balik pernyataannya.
Pras tertawa kecil. “Ya
begitulah. Mama apa kabar, Liz?”
Ada jeda yang janggal
di antara mereka begitu kalimat itu terlontar. Liz yang sedari tadi sibuk memikirkan
kata-kata Mamanya tampak kebingungan sesaat.
“Eh? Mama...baik,
kok. Sehat.”
“Mama tahu kamu ke
sini?”
Liz mengangguk, “Iya.
Titip salam buat kamu katanya.”
***
Liz masih ingat tiap
detail dari kejadian satu tahun yang lalu.
Liz menangis di
hadapan Pras malam-malam karena tanpa sengaja mendengar percakapan Pras dengan
Tania lewat telepon. Liz merasa Pras masih belum sepenuhnya melupakan Tania. Keberatan Mama atas hubungan mereka berdua
membuat Liz benar-benar berhenti berharap pada hubungan mereka. Liz dan Pras
tidak pernah putus, karena pacaran bukan nama hubungan yang dulu mereka jalani.
Selang beberapa hari,
Liz mendapati sepucuk surat yang diberikan Pras melalui Mama. Hanya ada satu baris
kalimat dalam surat itu namun cukup untuk membuat Liz menangis berhari-hari.
Seperti pelangi yang datang setelah hujan pergi, aku
pasti kembali setelah semua jauh lebih baik dari sekarang.
Pras pergi tanpa
mengucapkan selamat tinggal padanya.
Sebuah perpisahan
yang paling menyakitkan bagi Liz. Setiap kali ia mencoba menghubungi Pras,
hanya ada telepon dan pesan singkat yang tidak berbalas. Pras benar-benar
menghilang seolah lenyap ditelan bumi.
“Kemana saja kamu?” Akhirnya tanya itu keluar
juga dari mulut Liz.
Berjuta kali Liz berusaha
menghilangkan Pras dari pikirannya, berjuta kali itu pula ia gagal. Diam-diam, kalimat
dalam surat Pras menjadi pengharapan yang terpupuk di hatinya selama ini: Janji
Pras untuk kembali.
Pras menatap Liz
sepintas, setelahnya, ia membuang pandangan pada orang-orang yang tengah
bercakap di sekitar mereka.
“Maaf ya, Liz.”
***
Liz sudah tahu kenapa
pada akhirnya ia mau menuruti permintaan Pras untuk datang menemuinya. Pun
demikian halnya Pras. Ia tahu dengan pasti kenapa ia merelakan waktu dan
tenaganya untuk kembali ke Jogja, menemui Liz. Mereka berdua sama-sama tahu jawaban untuk
setiap tanya yang memenuhi kepala masing-masing.
Sumber gambar |
“Aku tidak memintamu
untuk cepat-cepat memaafkan aku, Liz. Aku keterlaluan, aku tahu itu.”
“Satu tahun itu tidak
sebentar, Pras.”
“Marah saja, Liz.
Marahi aku kalau itu bisa bikin kamu nggak benci lagi sama aku.”
Liz tersentak
mendengar kalimat Pras barusan. Bukan karena cara bicara Pras, tapi lebih kepada
heran atas perasaannya sendiri. Tidak sedikit pun Liz membenci Pras. Bahkan
setelah satu tahun Pras hilang tanpa kabar, hati Liz tetap untuknya.
“Aku pulang ke Bogor,
begitu dapat kabar papa masuk ICU, Liz. Aku pengen banget bilang dulu ke kamu,
tapi aku tahu, kamu perlu waktu buat sendiri. Begitu juga aku.” Pras meneruskan
ceritanya.
“Aku perlu sendiri
bukan karena aku masih punya perasaan ke Tania. Kamu salah besar tentang itu. Aku
cuma kepikiran kata-kata dari Mamamu. Aku sadar aku harus berubah, apalagi
setelah papa meninggal.”
“Pras, aku...”
Liz kebingungan
menanggapi pernyataan Pras. Ia benar-benar baru tahu kabar mengenai papa Pras
yang meninggal saat ini juga. Liz mendadak merasa bersalah karena tidak ada disaat
Pras butuh kehadirannya.
Pras nampak tak acuh
dengan jawaban yang diberikan Liz.
“Kami sekeluarga
beruntung Liz karena papa menjadi nasabah di salah satu perusahaan asurasi.
Usaha keluarga jadi selamat berkat uang klaim asuransi Papa. Sejak saat itu
pula aku semakin sadar, Liz, bahwa perencanaan keuangan sekecil apapun itu,
penting banget.”
Pras menatap Liz
sungguh-sungguh. “Liz, aku sedih sebenernya begitu tahu kamu jadi sering nangis
setelah aku ngilang. Tapi....”
“Kamu tahu darimana,
Pras?” Liz memotong kalimat Pras cepat. Seingatnya, sedari tadi ia tidak
membahas apapun tentang dirinya dan kondisinya setelah Pras menghilang.
“Eh, itu...” Pras salah
tingkah. “Aku... eh, ya... sebulan setelah aku balik ke Bogor, aku nelpon mama
kamu. Aku khawatir sama kamu.”
“Mama? Jadi selama
ini kamu....”
“Aku nggak siap buat
ngehubungin kamu lagi karena aku tahu kamu nggak akan mendengarkan penjelasan
dari aku. Seperti yang aku tulis di surat, aku pasti bakal balik. Iya, saat
aku sudah bisa ngasih bukti nyata ke kamu dan mamamu.”
Pras buru-buru
menambahkan, “Kamu nggak sadar, ya?
Kamu baru pindah rumah tiga bulan lalu, tapi surat dan buket bunga dari aku
bisa sampai dengan selamat di tanganmu?”
Pras menyentuh kepala
Liz pelan sambil tertawa. “Nggak
berubah ya, kamu. Nggak peka.”
Hati Liz berdesir. “Dan
kamu ngapain ke Jogja?”
Wajah Pras berubah
tegang. Ia tampak berdehem beberapa kali sambil memainkan jam di pergelangan
kirinya.
“Semua hal yang aku
lakukan selama setahun ini selain buat keluarga, ya buat kamu, Liz. Aku berubah
jadi seperti yang sekarang ini karena aku pengen kamu yakin sama aku. Juga buat
meyakinkan Mama kamu kalau aku bisa jadi laki-laki yang baik dan bertanggung
jawab untuk jadi suami anaknya kelak.”
“Pras, kamu nggak
perlu....”
Belum sempat Liz menyelesaikan
kalimat, sebuah kotak kecil keemasan disodorkan Pras padanya.
“Tidak ada yang
terlalu cepat ataupun terlambat untuk sebuah pertanyaan yang selama ini ingin
sekali aku tanyakan ke kamu, Liz.”
Pras membuka kotak
itu. Tampak sebuah cincin perak dengan ornamen daun, di dalam kotak itu.
“Will you be my forever life partner, Liz?”
***
“Aku
tidak pernah keberatan menunggu siapa pun, berapa lama pun selama aku
mencintainya.” – Seno Gumira Ajidarma.
**************************************************************
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen
“Pilih Mana: Cinta Atau Uang?”
#KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ceritakan ceritamu, disini!