10/10/15

How To Stop Time #3: Ephemeral

“Katakan saja, aku tidak apa-apa.”

Sumber gambar
Seperti yang sudah aku duga, Jim akan menjawab begitu.
Pikiranku semakin tidak karuan. Rangkaian kalimat yang sudah berkali-kali aku latih di depan kaca mendadak lenyap tak berbekas. Aku benar-benar tidak tahu harus memulai dari mana.

“Jangan pergi, Jim. Semuanya terlalu singkat.” Bisikku lirih.

Air muka Jim tampak tenang. “Jadi ini yang selama ini kamu pikirkan?”

Aku mengangguk pelan. Air mataku sudah menumpuk di pelupuk, membuatku tak berani menatapnya lagi. Bagaimana bisa aku yang seharusnya menjadi penyemangatnya justru kini yang terlihat paling lemah?

“Aku tidak akan pernah pergi.” Katanya.

Kurasakan tangannya mengacak rambutku pelan. “Aku hanya akan pulang. Semua orang akan pulang, kan?”

Aku tidak bisa kehilangan Jim. Tidak untuk saat ini. Tidak untuk kebersamaan kami selama tiga tahun. Tidak untuk mimpi-mimpi yang belum tercapai. Tidak untuk janji-janji yang belum tuntas. Tidak untuk hari-hari yang ingin aku lewati bersamanya.

“Aku nggak mau...aku nggak mau sendirian. Kamu jangan pergi.” Aku menangis di hadapannya. Satu hal yang selama empat belas hari terakhir ini amat terlarang untuk aku lakukan.

“La,” Jim merengkuh wajahku lembut. “Kamu nggak pernah sendirian, ada orang-orang yang bakal selalu sayang sama kamu. Ada mama, papa, Rendra, Kayra. Dan aku.”

Tangisku semakin menjadi. “Nggak. Kamu pergi. Kamu nggak ada lagi. Aku nggak mau... Semuanya beda.”

Mataku menatap Jim lekat-lekat. Wajahnya pucat. Tak bisa kulihat lagi binar di matanya. Kanker pankreas telah merenggut semuanya dari Jim. Termasuk hidupnya.

“Jangan sedih, La. Selama kamu di sisi, aku berjanji nggak akan kemana-mana.”


****

*Terinspirasi dari lagu Tangga - Tak Kemana-mana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ceritakan ceritamu, disini!