14/06/16

In Between


Kamu tidak pernah tahu alasan yang tepat mengapa kamu jatuh cinta. Kamu hanya tahu bahwa dia adalah orangnya. Dia adalah orangnya dan seluruh pencarian dan pertanyaanmu perihal hati, pun belahan jiwa, semua berakhir.
Pencarianku berakhir pada Drew.
***
Aku sudah lama tahu bahwa cinta tidak pernah dapat benar-benar membuatmu bahagia. Kadang ada derai dan duka yang datang tak diundang bersamaan dengan cinta. Sesiap apapun kamu atas semua kemungkinan yang akan terjadi, tetap saja ketika semua hal yang menjadi ketakutan terbesarmu benar-benar tiba, kau tidak akan pernah mampu; bahkan untuk merasa baik-baik saja.
“Permisi, ruang A-302 di sebelah mana ya?” Seseorang menepuk punggungku.
Aku menoleh sekilas.  Dan menunjuk ke sisi kananku. Aku benar-benar sedang fokus pada ponsel untuk membalas beberapa pesan penting di percakapan grup.
“Oh. Oke. Thanks ya.”  
“Eh?” Refleks aku mundur.
Semua karena sosok di hadapanku yang tiba-tiba agak menunduk dan sengaja menampakkan wajahnya.
Laki-laki itu nyengir sekilas lalu berjalan pergi ke arah yang kutunjuk tadi.
Singkat, namun otakku tampak berlebihan memproses informasi serbasingkat tadi. Rambutnya yang berwarna hitam dan agak ikal. Kacamata dengan frame oval yang cukup lebar. Dan seringainya yang begitu aneh menurutku. Menyebalkan sekaligus...memesona?
Siapa yang akan menyangka bahwa setelahnya, aku akan berada satu kelas bahkan selama setengah tahun. Kami tidak pernah benar-benar berbincang kecuali saat sesi conversation.
Pertanyaan semacam “Apa warna kesukaanmu? Siapa artis favoritmu?” Hingga pada arah bercanda yang agak keterlaluan seperti, Avez-vous un petit ami?1
Drew, laki-laki berkacamata itu, bertanya padaku sambil terkekeh. Ia sendiri terlihat agak geli menanyakannya padaku. Aku tersenyum, tentu saja tidak. “Et vous?2
Kali ini aku yang harap-harap cemas menanti jawabannya. Drew mengangkat bahunya sambil mengatakan, “Je ne sais pas3.” Lalu nyengir.
Aku berpura-pura tertawa, bersama dengan teman-teman dalam kelompok conversation kali ini. Meski sebenarnya aku benar-benar penasaran dalam kadar tertentu. Mungkin semacam penasaran apakah penyanyi favoritmu benar-benar berpacaran dengan seseorang yang selama ini diberitakan di infotainment.
Kelas berakhir bersamaan dengan hujan angin yang sangat deras. Hebatnya, aku lupa membawa jas hujan. Tidak, lebih tepatnya, jas hujanku sedang dipinjam oleh temanku yang saat ini sedang berada di luar kota.
Kelas yang kuambil kali ini adalah kelas jam terakhir, yang berarti bahwa setelah sesi kami berakhir, tempat kursus bahasa Prancis juga akan bersiap-siap tutup. Sementara hujan benar-benar deras dan aku tidak tahu harus menunggu berapa abad lagi agar bisa pulang tanpa basah.
Drew keluar paling akhir. Ia tampak menatap langit dengan santai lalu duduk di bangku dekat parkiran motor. Ia mengeluarkan sekotak rokok dan pelatuk api. Tak berapa lama, asap keluar dari mulutnya.
Aku menjaga jarak agar tidak banyak menghirup asap. Meski sebenarnya aku penasaran dengan segala hal yang dilakukan oleh Drew. Ada yang aneh sekaligus menarik darinya. Aku benar-benar penasaran.
“Belum balik, Kay?”
Tahu-tahu Drew mendekati aku. Kali ini tak kulihat lagi asap di dekatnya meski aroma tubuhnya jelas menunjukkan bahwa ia habis merokok.
Aku menggeleng. “Lupa bawa jas hujan, hehe.”
“Yaelah. Untung aku bawa dua. Pake aja tuh.” Tanpa menunggu jawabanku, Drew bergegas mengambil poncho dari jok motornya. “Kembaliin aja pas sesi besok.”
***
Aku selalu tahu bahwa kelak aku akan terluka karena cinta. Bahkan ketika pada akhirnya dalam persimpangan kali ini, aku merasa pencarianku telah berakhir. Aku menemukannya. Aku menemukan Drew.
“Jadi kenapa kamu ikut les bahasa Prancis?” Tanyaku di hari Sabtu yang begitu cerah.
Saat itu Drew tiba-tiba menghubungiku melalui pesan singkat. Ia memintaku menemaninya pergi ke Mangunan. Sebuah permintaan yang agak aneh meski aku tahu kenapa Drew berani mengajakku pergi sejauh itu: kami sudah cukup dekat.  
Drew tampak fokus dengan mirrorless cam baru miliknya. Sebagai anak instagram dengan lebih dari 10.000 followers, Drew tampak berhati-hati dengan setiap momen yang ia ambil.
Good question!” Jawab Drew singkat. Ia memotretku tiba-tiba. Jelas sekali aku tahu bahwa itu akan menjadi pose-paling-tidak-oke menurutku.
“Oh, no, Drew!” Kataku.
“Aku pengen ke Prancis.” Drew mengabaikan gerutuku. “Kamu?”
“Sama.” Jawabku singkat.
“Bukan korban film Eiffel I’m In Love yang berharap jadian kaya Adit dan Tita, kan? Hahahahaha.” Tanya Drew lagi.
“Ngaco deh you!” Aku berbalik menghadap lembah dan sungai yang tampak begitu jauh di bawah tempat kami berpijak. “Well... ngarepnya sih gitu. Dapet bule Prancis yang super romantis.”
“Mulai deh, ngegalau dan menye-menye.” Gerutu Drew lagi.
Pardon4, bisa tolong didefinisikan maksud galau versi Anda itu bagaimana ya?”
Aku tahu, setelah ini kami akan terlibat dalam perdebatan yang tidak penting, namun selalu aku nikmati.
Aku suka cara Drew menyampaikan pendapatnya dengan bersemangat. He looks so passionate when he tell his opinion. Aku suka. Atau mungkin...mulai jatuh cinta?
***
“Terima kasih ya, sudah mau menemani sampai sejauh ini.”
Drew baru saja memintaku menemaninya untuk melihat bukit bintang. Drew mengatakan bahwa selama di Jogja, ia belum pernah melakukan perjalanan sejauh ini hanya untuk berdiri di ketinggian ratusan meter dan melihat hamparan lampu di malam hari.
Sudah berapa lama kami dekat? Satu setengah tahun.
“Kayla.” Drew memanggilku dan dalam sepersekian detik, kurasakan rangkulan Drew yang begitu erat. Ia mengelus rambutku pelan sembari berbisik, “Terima kasih sudah selalu sabar dan ada di saat-saat senang maupun sedih.”
Ada gelombang hangat yang datang memenuhi rongga dadaku. Melebihi kupu-kupu yang beterbangan dalam perut setiap kali menemukan Drew menungguku di depan rumah. Rasanya kali ini aku ingin menangis dan memeluknya. Tapi kutahu, aku tidak bisa.
Tidak akan pernah bisa.
“Minggu depan Rachel pulang.”
***
Aku tidak pernah benar-benar tahu bahwa hal yang mempertemukanku dengan Drew, justru adalah jarak yang paling jauh, yang akan memisahkan kami.
Drew belajar bahasa Prancis mati-matian hanya untuk menyusul Rachel, seseorang yang sebentar lagi akan kembali lagi ke Indonesia. Perempuan yang juga ia cintai mati-matian. Sama seperti aku yang dulu pernah mencintai hal-hal yang berhubungan dengan Prancis.
Tidak setelah aku bertemu dengan Drew.
“Kenapa? Kenapa setelah sekian lama?”
Aku berusaha mungkin untuk terlihat baik-baik saja. Nyatanya hal itu adalah sesuatu yang sangat mustahil untuk saat ini.
Mata itu membalasku. Tidak ada yang terucap, tapi semuanya terasa jelas. Dalam diam, kami sama-sama tahu mengapa pada akhirnya semua terjadi.
Drew mengecup keningku pelan. “Mungkin bukan sekarang.”
“Mungkin tidak akan pernah ada.”
Kamu tidak pernah tahu alasan yang tepat mengapa kamu jatuh cinta. Kamu hanya tahu bahwa dia adalah orangnya. Dia adalah orangnya dan seluruh pencarian dan pertanyaanmu perihal hati pun belahan jiwa, semua berakhir.
Pencarianku berakhir pada Drew.
***
1: Kamu punya pacar?
2: Kalau kamu?
3: Aku nggak tau.
4: Maaf
*Tulisan ini terinspirasi oleh single terbaru HIVI: Pelangi

2 komentar:

  1. Nis, ini bagus banget :') aku sampe menghayati banget, tanpa sadar pengen nangis hhu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih Oyaaa sudah mampir :D Iya, ini gara-gara denger single-nya Hivi :")

      Hapus

Ceritakan ceritamu, disini!