27/11/16

Nothing but The Truth


“Kamu apa kabar, Dira?” 

Sudah dua belas jam perjalanan yang kamu habiskan bersamanya, tapi kamu tahu ada yang berbeda dari pertanyaannya kali ini. Kamu menjawab sambil tertawa kecil, berusaha menutupi perasaan gugup yang tiba-tiba hadir.

Sebab bagimu, dia masih sama.

Dia masih sama seperti terakhir kalian bertemu. Nada suaranya saat memanggilmu, tawanya yang aneh, hingga caranya untuk menutupi rasa canggung: Mengusap-usap pipinya. Pikiranmu berulang kali memutar memori dua tahun lalu. Sebuah ingatan aneh yang membuatmu tak pernah ingin memikirkan orang lain selain dia.

 “Kenapa kamu nggak ngabari anak-anak lain kalau kamu di Jogja?” Tanyamu. 

Kali ini, kamu mencoba mengingat setiap detail ekspresinya. Bentuk alisnya, warna matanya, hingga kebiasaan dia berkali-kali menyentuh rambut sebahunya yang tampak berantakan.
Dia mengangkat bahunya, “Nanti aja. Aku pengen ketemu kamu.”

Kamu merasakan perutmu mulas tiba-tiba. Seperti ada kupu-kupu yang menari di dalamnya. Kamu berharap kali ini rona kemerahan di pipimu tidak cukup nampak.

“Kenapa, Jun? Kenapa kamu pengen ketemu aku?” 

Cinta dan keinginan untuk memiliki adalah dua perkara berbeda. 
Setidaknya itu adalah prinsip yang berusaha kamu yakini dalam dua tahun terakhir. Tidak semua orang cukup beruntung dapat memiliki dua hal itu. Kadang ada seseorang yang mencintai namun tidak dapat memiliki. Kadang pula, ada seseorang sudah memiliki, namun tidak dapat mencintai sepenuh hati. Hanya sedikit orang yang beruntung untuk mendapatkan keduanya dalam waktu yang bersamaan. 
Untuk kali ini, kamu berharap menjadi orang yang beruntung itu.

“Nggak apa-apa, Dir. Aku kan udah lama nggak ketemu kamu.” 

Di matamu, tidak ada yang berubah. Tidak dia, tidak sifatnya, tidak juga perasaanmu padanya sejak dua tahun lalu. 

Kamu menghela napas panjang.
Rasanya, ingin sekali kamu mengatakan padanya, “Akui saja, kau sulit untuk mengatakan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ceritakan ceritamu, disini!